Telekomunikasi seluler di Indonesia adalah sebuah kumpulan informasi yang mencakup keseluruhan hal yang berhubungan perkembangan
telekomunikasi seluler yang terjadi di
Indonesia hingga sekarang.
Perkembangan Awal
Telekomunikasi seluler di Indonesia mulai dikenalkan pada tahun
1984 dan hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang pertama mengadopsi teknologi seluler versi
komersial. Teknologi seluler yang digunakan saat itu adalah
NMT (Nordic Mobile Telephone) dari
Eropa, disusul oleh
AMPS (Advance Mobile Phone System), keduanya dengan sistem
analog. Teknologi seluler yang masih bersistem analog itu seringkali disebut sebagai teknologi seluler generasi pertama (
1G). Pada tahun
1995 diluncurkan teknologi generasi pertama
CDMA (Code Division Multiple Access) yang disebut
ETDMA (Extended Time Division Multiple Access) melalui operator
Ratelindo yang hanya tersedia di beberapa wilayah
Jakarta,
Jawa Barat, dan
Banten.
Sementara itu di
dekade yang sama, diperkenalkan teknologi
GSM
(Global Global System for Mobile Communications) yang membawa teknologi
telekomunikasi seluler di Indonesia ke era generasi kedua (
2G). Pada masa ini,
Layanan pesan singkat (Inggris: short message service) menjadi fenomena di kalangan pengguna ponsel berkat sifatnya yang hemat dan praktis
[1]. Teknologi
GPRS
(General Packet Radio Service) juga mulai diperkenalkan, dengan
kemampuannya melakukan transaksi paket data. Teknologi ini kerap disebut
dengan generasi dua setengah (
2,5G), kemudian disempurnakan oleh
EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution), yang biasa disebut dengan generasi dua koma tujuh lima (
2,75G).
Telkomsel sempat mencoba mempelopori layanan ini, namun kurang berhasil memikat banyak pelanggan
[2]. Pada tahun 2001, sebenarnya di Indonesia telah dikenal teknologi CDMA generasi kedua (
2G), namun bukan di wilayah
Jakarta, melainkan di wilayah lain, seperti
Bali dan
Surabaya[3].
Pada 2004 mulai muncul operator
3G pertama,
PT Cyber Access Communication
(CAC), yang memperoleh lisensi pada 2003. Saat ini, teknologi layanan
telekomunikasi seluler di Indonesia telah mencapai generasi
ketiga-setengah (
3,5G), ditandai dengan berkembangnya teknologi
HSDPA (High-Speed Downlink Packet Access) yang mampu memungkinkan
transfer data secepat 3,6 Mbps.
Sejarah
1984: Teknologi seluler diperkenalkan di Indonesia
Teknologi komunikasi seluler mulai diperkenakan pertama kali di
Indonesia. Pada saat itu, Ketika itu,
PT Telkom Indonesia bersama dengan
PT Rajasa Hazanah Perkasa mulai menyelenggarakan layanan komunikasi seluler dengan mengusung teknologi NMT -450 (yang menggunakan frekuensi 450 MHz
[4]) melalui pola bagi hasil. Telkom mendapat 30% sedangkan Rajasa 70%.
[5]
1985-1992: Penggunaan teknologi seluler berbasis analog Generasi 1 (1G)
Pada tahun
1985, teknologi
AMPS (Advanced Mobile Phone System, mempergunakan frekuensi 800 MHz
[6], merupakan cikal bakal
CDMA
saat ini) dengan sistem analog mulai diperkenalkan, di samping
teknologi NMT-470, modifikasi NMT-450 (berjalan pada frekuensi 470 MHz,
khusus untuk Indonesia
[7]) dioperasikan
PT Rajasa Hazanah Perkasa. Teknologi AMPS ditangani oleh empat operator:
PT Elektrindo Nusantara,
PT Centralindo Panca Sakti, dan
PT Telekomindo Prima Bakti, serta
PT Telkom Indonesia sendiri. Regulasi yang berlaku saat itu mengharuskan para penyelenggara layanan telepon dasar bermitra dengan
PT Telkom Indonesia.
[8]
Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum bisa dimasukkan ke dalam
saku karena ukurannya yang besar dan berat, rata-rata 430
gram atau hampir setengah
kilogram. Harganya pun masih mahal, sekitar Rp10 jutaan.
Pada tahun
1967,
PT Indonesian Satellite Corporation Tbk (Indosat, sekarang PT. Indosat Tbk) didirikan sebagai
Perusahaan Modal Asing (PMA), dan baru memulai usahanya pada
1969 dalam bidang layanan telekomunikasi antarnegara. Pada
1980,
Indosat resmi menjadi
Badan Usaha Milik Negara[9].
1993: Awal pengembangan GSM
Pada
Oktober 1993,
PT Telkom Indonesia memulai
pilot-project pengembangan teknologi generasi kedua (
2G),
GSM], di Indonesia. Sebelumnya,
Indonesia dihadapkan pada dua pilihan: melanjutkan penggunaan teknologi
AMPS atau beralih ke
GSM yang menggunakan frekuensi 900 MHz. Akhirnya,
Menristek saat itu,
BJ Habibie, memutuskan untuk menggunakan teknologi
GSM pada sistem
telekomunikasi digital Indonesia.
Pada waktu itu dibangun 3 BTS (
Base Transceiver Station), yaitu satu di
Batam dan dua di
Bintan. Persis pada
31 Desember 1993, pilot-project tersebut sudah on-air. Daerah
Batam dipilih sebagai lokasi dengan beberapa alasan: Batam adalah daerah yang banyak diminati oleh berbagai kalangan, termasuk warga
Singapura. Jarak yang cukup dekat membuat sinyal seluler dari negara itu bisa ditangkap pula di
Batam. Alhasil, warga
Singapura yang berada di Batam bisa berkomunikasi dengan murah meriah, lintas
negara tapi seperti menggunakan
telepon lokal. Jadi
pilot-project ini juga dimaksudkan untuk menutup sinyal dari Singapura sekaligus memberikan layanan komunikasi pada masyarakat
Batam.
1994: Kemunculan operator GSM pertama
PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul sebagai
operator GSM pertama di Indonesia, melalui
Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi No. PM108/2/MPPT-93, dengan awal pemilik
saham adalah
PT Telkom Indonesia,
PT Indosat, dan
PT Bimagraha Telekomindo[10], dengan wilayah cakupan layanan meliputi
Jakarta dan sekitarnya. Pada periode ini, teknologi
NMT dan
AMPS mulai ditinggalkan, ditandai dengan tren melonjaknya jumlah pelanggan
GSM di
Indonesia. Beberapa faktor penyebab lonjakan tersebut antara lain, karena GSM menggunakan
Kartu SIM
yang memungkinkan pelanggan untuk berganti handset tanpa mengganti
nomor. Selain itu, ukuran handset juga sudah lebih baik, tak lagi
sebesar '
pemukul kasti'.
1995: Kemunculan telepon rumah nirkabel
Penggunaan teknologi
GMH 2000/
ETDMA diperkenalkan oleh
Ratelindo. Layanan yang diberikan oleh Ratelindo berupa layanan
Fixed-Cellular Network Operator, yaitu
telepon rumah nirkabel. Pada tahun yang sama, kesuksesan
pilot-project di
Batam dan
Bintan membuat pemerintah memperluas daerah layanan GSM ke provinsi-provinsi lain di
Sumatera. Untuk memfasilitasi hal itu, pada
26 Mei 1995 didirikan sebuah perusahaan telekomunikasi bernama
Telkomsel, sebagai operator
GSM nasional kedua di
Indonesia, dengan kepemilikan bersama
Satelindo.
1996: Awal perkembangan layanan GSM
Pada akhir tahun
1996,
PT Excelcomindo Pratama (Excelcom, sekarang XL Axiata) yang berbasis GSM muncul sebagai operator
seluler nasional ketiga.
Telkomsel yang sebelumnya telah sukses merambah
Medan,
Surabaya,
Bandung, dan
Denpasar dengan produk
Kartu Halo, mulai melakukan ekspansi ke
Jakarta.
Pemerintah juga mulai turut mendukung
bisnis seluler dengan dihapuskannya
bea masuk
telepon seluler. Alhasil, harga telepon seluler dapat ditekan hingga Rp1 juta. Pada
29 Desember 1996,
Maluku tercatat menjadi provinsi ke-27 yang dilayani
Telkomsel.
Pada tahun yang sama,
Satelindo meluncurkan satelit
Palapa C2, dan langsung beroperasi pada tahun itu juga.
1997-1999: Telekomunikasi seluler pada masa krisis moneter
Pada tahun
1997,
Pemerintah bersiap memberikan 10
lisensi regional untuk 10 operator baru yang berbasis
GSM 1800 atau
PHS (Personal Handy-phone System. Keduanya adalah sama seperti GSM biasa, namun menggunakan frekuensi 1800 MHz). Namun,
krisis moneter 1998 membuat rencana itu batal.
Pada tahun yang sama,
Telkomsel memperkenalkan produk prabayar pertama yang diberi nama
Simpati, sebagai
alternatif Kartu Halo. Lalu
Excelcom meluncurkan
Pro-XL sebagai jawaban atas tantangan dari para kompetitornya, dengan layanan unggulan
roaming pada tahun
1998. Pada tahun tersebut,
Satelindo tak mau ketinggalan dengan meluncurkan produk
Mentari, dengan keunggulan perhitungan
tarif per
detik.
Walaupun pada
periode 1997-
1999 ini
Indonesia masih mengalami guncangan hebat akibat
krisis ekonomi dan
krisis moneter, minat masyarakat tidak berubah untuk menikmati layanan
seluler. Produk
Mentari yang diluncurkan
Satelindo pun mampu dengan cepat meraih 10.000
pelanggan. Padahal, harga kartu perdana saat itu termasuk tinggi, mencapai di atas Rp100 ribu dan terus naik pada tahun berikutnya
[11].
Hingga akhir 1999, jumlah pelanggan seluler di Indonesia telah mencapai
2,5 juta pelanggan, yang sebagian besar merupakan pelanggan layanan
prabayar.
2000-2002: Deregulasi dan kemunculan operator CDMA
Telkomsel dan
Indosat memperoleh
lisensi sebagai operator
GSM 1800 nasional sesuai amanat
Undang-undang Telekomunikasi No. 36/1999. Layanan seluler kedua
BUMN itu direncanakan akan beroperasi secara bersamaan pada
1 Agustus 2001. Pada tahun yang sama,
layanan pesan singkat (
Inggris: Short Message Service/SMS) mulai diperkenalkan, dan langsung menjadi primadona layanan seluler saat itu.
Pada tahun
2001,
Indosat mendirikan
PT Indosat Multi Media Mobile (Indosat-M3), yang kemudian menjadi pelopor layanan
GPRS (General Packet Radio Service) dan
MMS (Multimedia Messaging Service) di Indonesia. Pada
8 Oktober 2002,
Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan layanan tersebut
[12].
Masih pada tahun
2001, pemerintah mengeluarkan kebijakan
deregulasi di sektor
telekomunikasi dengan membuka
kompetisi pasar bebas[13].
PT Telkom Indonesia pun tak lagi me
monopoli telekomunikasi, ditandai dengan dilepasnya
saham Satelindo pada
Indosat. Pada akhir
2002,
Pemerintah Indonesia juga melepas 41,94% saham
Indosat ke
Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (SingTel). Kebijakan ini menimbulkan kontroversi, yang pada akhirnya membuat
Pemerintah terus berupaya melakukan aksi beli-kembali/
buyback.
Pada
Desember 2002,
Flexi hadir sebagai operator
CDMA pertama di Indonesia, di bawah pengawasan
PT Telkom Indonesia, menggunakan
frekuensi 1.900 MHz dengan lisensi
FWA
(Fixed Wireless Access). Artinya, sistem penomoran untuk tiap pelanggan
menggunakan kode area menurut kota asalnya, seperti yang dipergunakan
oleh
telepon berbasis sambungan tetap dengan kabel milik
Telkom.
2003-2004: Kemunculan operator 3G pertama
Satelindo meluncurkan layanan
GPRS dan
MMS pada awal
2003[14], dan menjadi operator seluler
Indonesia ketiga yang meluncurkan layanan tersebut.
Melalui
Keputusan Dirjen Postel No. 253/Dirjen/2003 tanggal
8 Oktober 2003, pemerintah akhirnya memberikan lisensi kepada
PT Cyber Access Communication (sekarang PT Hutchison Charoen Pokphand Telecom) sebagai operator seluler
3G pertama di Indonesia melalui proses tender
[15], menyisihkan 11 peserta lainnya. CAC memperoleh
lisensi pada jaringan
UMTS (Universal Mobile Telecommunications System) atau juga disebut dengan
W-CDMA (Wideband-Code Division Multiple Access) pada frekuensi 1.900 MHz sebesar 15 MHz.
Pada
November 2003,
Indosat mengakuisisi
Satelindo,
Indosat-M3, dan
Bimagraha Telekomindo. Pada akhirnya, ketiganya dilebur ke dalam
PT Indosat Tbk[16]. Maka sejak saat itu, ketiganya hanya menjadi
anak perusahaan Indosat.
Di bulan yang sama, PT Radio dan Telepon Indonesia (Ratelindo) berubah nama menjadi
PT Bakrie Telecom dan meluncurkan produk
esia sebagai operator
CDMA kedua berbasis
FWA, yang kemudian diikuti dengan kehadiran
Fren sebagai merek dagang
PT Mobile-8 Telecom pada
Desember 2003, namun dengan lisensi
CDMA berjelajah
nasional, seperti umumnya
operator seluler berbasis
GSM.
PT Indosat Tbk menyusul kemudian dengan
StarOne pada bulan
Mei 2004, juga dengan lisensi
CDMA FWA.
Pada
Februari 2004,
Telkomsel meluncurkan layanan
EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution), dan menjadikannya sebagai operator
EDGE pertama di Indonesia
[17]. EDGE sanggup melakukan
transfer data dengan kecepatan sekitar 126 kbps (
kilobit
per detik) dan menjadi teknologi dengan transmisi data paling cepat
yang beroperasi di Indonesia saat itu. Bahkan menurut GSM World
Association, EDGE dapat menembus kecepatan hingga 473,8 kilobit/detik
[18].
Sejak
April 2004, para
operator seluler di Indonesia akhirnya sepakat melayani
layanan MMS antar-operator
[19]. Pada akhir tahun
2004, jumlah pelanggan seluler sudah menembus kurang lebih 30 juta
[20]. Melihat perkembangan yang begitu pesat, di prediksi pada tahun
2005 jumlah pelanggan seluler di Indonesia akan mencapai 40 juta
[21].
Pada
Mei 2004, PT Mandara Seluler Indonesia meluncurkan produk seluler
Neon di
Lampung pada jaringan
CDMA 450 MHz. Namun
Neon tak bisa berkembang akibat kalah bersaing dengan operator telekomunikasi lainnya, sampai akhirnya diambil alih oleh
Sampoerna kemudian mengubah namanya menjadi
Sampoerna Telekomunikasi Indonesia pada
2005, dan menjadi cikal bakal
Ceria.
[22]
Pada tanggal
17 September 2004,
PT Natrindo Telepon Seluler
(Lippo Telecom, sekarang PT Axis Telekom Indonesia) memperoleh lisensi
layanan 3G kedua di Indonesia. Perusahaan ini memperoleh alokasi
frekuensi sebesar 10 MHz.
2005-2008: Era reformasi Pertelekomunikasian Indonesia
Pada Mei 2005,
Telkomsel berhasil melakukan ujicoba jaringan
3G di
Jakarta dengan menggunakan teknologi
Motorola dan
Siemens, sedangkan
CAC baru melaksanakan ujicoba
jaringan 3G pada bulan berikutnya.
CAC melakukan ujicoba layanan
Telepon video,
akses internet kecepatan tinggi, dan menonton
siaran MetroTV via
ponsel Sony Ericsson
Z800i. Setelah melalui proses tender, akhirnya tiga operator telepon
seluler ditetapkan sebagai pemenang untuk memperoleh lisensi layanan 3G,
yakni
PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel),
PT Excelcomindo Pratama (XL), dan
PT Indosat Tbk (Indosat) pada tanggal
8 Februari 2006[23]. Dan pada akhir tahun yang sama, ketiganya meluncurkan layanan
3G secara
komersial.
Pada
Agustus 2006,
Indosat meluncurkan
StarOne dengan jaringan
CDMA2000 1x EV-DO di
Balikpapan[24]. Pada saat yang sama,
Bakrie Telecom memperkenalkan layanan ini pada penyelenggarakan kuliah jarak jauh antara
Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan
California Institute for Telecommunication and Information (
Calit2) di
San Diego State University (
UCSD)
California[25].
Pemerintah melalui
Depkominfo mengeluarkan Permenkominfo No. 01/2006 tanggal
13 Januari 2007
tentang Penataan Pita Frekuensi Radio 2.1 GHz Untuk Penyelenggaraan
Jaringan Bergerak Seluler IMT-2000, menyebutkan bahwa penyelenggaraan
jaringan tetap lokal dengan mobilitas terbatas hanya dapat beroperasi di
pita frekuensi radio 1.900 MHz sampai dengan
31 Desember 2007. Jaringan pada
frekuensi tersebut kelak hanya diperuntukan untuk jaringan
3G. Operator dilarang membangun dan mengembangkan jaringan pada pita frekuensi radio tersebut.
Maka, berdasarkan keputusan tersebut, para
operator seluler CDMA berbasis
FWA yang menghuni frekuensi 1.900 MHz harus segera ber
migrasi ke
frekuensi 800 MHz. Saat itu ada dua operator yang menghuni frekuensi CDMA 1.900 MHz, yaitu
Flexi dan
StarOne. Akhirnya,
Telkom bekerjasama dengan
Mobile-8 dalam menyelenggarakan layanan
Fren dan
Flexi, sedangkan
Indosat dengan produk
StarOne bekerja sama dengan
Esia milik
Bakrie Telecom[26].
Jumlah
pengguna layanan seluler di Indonesia mulai mengalami ledakan. Jumlah pelanggan layanan seluler dari tiga operator terbesar (
Telkomsel,
Indosat, dan
Excelcom) saja sudah menembus 38 juta
[27]. Itu belum termasuk operator-operator
CDMA. Hal ini disebabkan oleh murahnya tarif layanan seluler jika dibandingkan pada masa sebelumnya yang masih cukup mahal.
Namun jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta pada saat itu, angka 38 juta masih cukup kecil. Para
operator masih melihat
peluang bisnis yang besar dari
industri telekomunikasi seluler itu. Maka, untuk meraih banyak pelanggan baru, sekaligus mempertahankan pelanggan lama, para operator memberlakukan
perang tarif yang membuat tarif layanan seluler di Indonesia semakin murah.
Namun di balik gembar-gembor tarif murah itu,
BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) dan
KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) menemukan fakta menarik, ternyata para operator seluler telah melakukan
kartel
tarif layanan seluler, dengan memberlakukan tarif minimal yang boleh
diberlakukan di antara para operator yang tergabung dalam kartel
tersebut
[28]. Salah satu fakta lain yang ditemukan
BRTI dan
KPPU adalah adanya kepemilikan silang
Temasek Holdings, sebuah perusahaan milik
Pemerintah Singapura, di
PT Indosat Tbk (Indosat) dan
PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel)
[29], yang membuat tarif layanan seluler cukup tinggi.
Maka, pemerintah melalui
Depkominfo akhirnya mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan para operator seluler menurunkan tarif mereka 5%-40% sejak bulan
April 2008, termasuk di antaranya penurunan tarif
interkoneksi antar operator
[30]. Penurunan tarif ini akan di
evaluasi oleh pemerintah selama 3 bulan sekali.
2009-2012 : Perkembangan telekomunikasi di Indonesia
Di Indonesia pada tahun 2009, telah beroperasi sejumlah 10 operator
dengan perkiraan jumlah pelanggan sekitar 175,18 juta. Berikut ini
adalah Tabel Perolehan pelanggan per tahun 2009 pada setiap Operator :
Operator |
Produk |
Jaringan |
Jumlah Pelanggan (Q1-2009, kecuali ada catatan)[31] |
Bakrie Telecom |
Esia |
CDMA 800MHz |
10,6 juta (Q4-2009)[32] |
Hutchison |
3 |
GSM |
6,4 juta |
Indosat |
IM3, Indosat Matrix, Indosat Mentari |
GSM |
33,1 juta (Q4-2009)[33] |
|
StarOne |
CDMA 800MHz |
570.000 |
Mobile-8 |
Fren, Mobi dan Hepi |
CDMA 800MHz |
3 juta |
Natrindo |
Axis |
GSM |
5 juta |
Sampoerna Telekom |
Ceria[34] |
CDMA 450MHz |
780.000 |
Smart Telecom |
Smart |
CDMA 1.900MHz |
>2 juta |
Telkom |
Flexi |
CDMA 800MHz |
13,49 juta |
Telkomsel |
Kartu AS, Kartu HALO dan Simpati |
GSM |
81,644 juta (Q4-2009)[35] |
XL Axiata |
XL |
GSM |
31,437 juta (Q4-2009)[36] |
Sebagian besar operator telah meluncurkan layanan
3G dan
3,5G. Seluruh operator
GSM telah mengaplikasikan teknologi
UMTS,
HSDPA dan
HSUPA pada jaringannya, dan operator
CDMA juga telah mengaplikasikan teknologi
CDMA2000 1x EV-DO.
Akibat kebijakan pemerintah tentang penurunan tarif pada awal
2008, serta gencarnya perang tarif para
operator yang makin gencar
[37][38], kualitas layanan operator seluler di
Indonesia terus memburuk, terutama pada jam-jam sibuk
[39][40]. Sementara itu, tarif
promosi yang diberikan pun seringkali hanya sekedar akal-akalan, bahkan cenderung merugikan
konsumen itu sendiri
[41].
Jumlah pengguna seluler di
Indonesia hingga bulan
Juni 2010
diperkirakan mencapai 180 juta pelanggan, atau mencapai sekitar 80
persen populasi penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu, sebanyak
95 persen adalah pelanggan prabayar. Menurut catatan
ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia), pelanggan Telkomsel hingga bulan
Juni 2010
mencapai 88 juta nomor, XL sekitar 35 juta, Indosat sekitar 39,1 juta,
selebihnya merupakan pelanggan Axis dan Three. Direktur Utama PT
Telkomsel, Sarwoto mengatakan, dari sisi pendapatan seluruh operator
seluler sudah menembus angka Rp100 triliun. Industri ini diperkirakan
terus tumbuh, investasi terus meningkat menjadi sekitar US$2 miliar per
tahun, dengan jumlah BTS mencapai lebih 100.000 unit.
[42]
Prospek telekomunikasi seluler di Indonesia
Di Indonesia, teknologi
4G mulai diperkenalkan, dimulai dengan dikembangkannya
WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) oleh
Pemerintah[43]. Pemerintah selaku regulator telah menerbitkan tiga peraturan pada bulan
Februari 2008 melalui keputusan
Dirjen Postel No. 94, 95, 96 mengenai persyaratan teknis mengenai
alat dan perangkat
telekomunikasi pada
frekuensi 2.3 Ghz, sebagai frekuensi yang akan ditempati
WiMAX di Indonesia. Pemerintah sendiri telah menyiapkan dana sebesar Rp18 milyar untuk
penelitian dan pengembangan
teknologi WiMAX di Indonesia, bekerjasama dengan beberapa lembaga penelitian dan
perguruan tinggi.
[44] Pemerintah membuka
akses internet untuk publik sembari menguji coba teknologi
WiMAX lokal selama tiga bulan berturut-turut mulai 15 Oktober hingga akhir 2008.
[45]
WiMAX sendiri adalah
teknologi telekomunikasi terbaru yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan koneksi
internet berkualitas dan melakukan aktivitas dan teknologi
nirkabel telekomunikasi berbasis
protokol internet yang berjalan pada frekuensi 2,3 GHz.
Telkomsel telah menggunakan frekuensi 5,8 GHz untuk menguji coba teknologi
WiMAX
tersebut. Namun, karena tak punya izin lisensi, operator ini mengklaim
meminjam perangkat dan izin penggunaan frekuensi dari penyelenggara
lain.
Telkomsel sendiri mengklaim mereka tak akan mengkomersilkan
WiMAX, sebab mereka lebih memilih
LTE (Long Term Evolution) sebagai teknologi masa depan mereka.
Telkomsel menggunakan teknologi
WiMAX ini untuk
backhaul saja.
[46]
Sementara itu,
Indosat melalui produk
IndosatM2 bekerja sama dengan
Intel untuk menawarkan program pengadaan
komputer beserta koneksi
internet nirkabelnya di sekolah-sekolah.
Program itu nantinya jadi cikal-bakal untuk membidik peluang
WiMAX di
sekolah.
[47]
Melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan penetrasi seluler
yang baru hampir mencapai 50%, maka masih ada peluang yang terbuka
lebar untuk meraih banyak pelanggan baru.
Pada
2012, diperkirakan penetrasi seluler di Indonesia akan mencapai 80%.
[48]
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Telekomunikasi_seluler_di_Indonesia